Apakah
kau pernah menyukaiku? Hal itulah yang kadang aku lamunkan seketika melihat
foto gadis impian di tengah hiasan rembulan malam. Sosoknya yang selalu
terbayang-bayang seakan membingkai hati
ini. Putri, nama nya seolah mengartikan juga paras wajahnya yang cantik. Make up nya yang sederhana membuat mata
ini terbelalak dalam kehampaan sebuah cinta. Namaku Adi, Aku yang hanya
berstatus mahasiswa dengan uang pas-pasan seperti tak mampu menjangkau dirinya
yang sehari – hari di antar dengan mobil mewah.
Hari
baru pun dimulai, aku telah bersiap-siap untuk berangkat kuliah dengan tampilan
seadanya dan semerbak bau minyak wangi melekat di pakaianku. Ketika hampir tiba
di kampus, tiba-tiba lewat sebuah mobil mewah yang sepertinya tidak asing lagi
bagiku. Oh, ternyata itu mobil antar jemput Putri. Pintu mobil perlahan terbuka
dan Putri pun turun.
Dengan
agak gugup, ku dekati dia dengan membuang semua rasa malu. Sapaan hangatku
membuka awal percakapan di pagi itu.
“Pu-putri,
sama-sama aja yuk masuk ke kelas?”,
ajakku dengan agak terbatah-batah
Dia
melontarkan senyum indah, seolah-olah ingin membalas pertanyaan itu. Tapi dia
terus berjalan kedalam kelas dengan menghiraukanku.
“Ah,
sial” gerutuku kecil. Tapi dengan semangat untuk mendapatkan tempat di hatinya,
aku melanjutkan berjalan dengan gagahnya.
Dia
yang satu kelas denganku dan yang lebih beruntungnya lagi kursi nya tepat
berada di sebelahku. Sesekali aku menyempatkan diri melirik ke arahnya
ditengah-tengah pelajaran berlangsung. Seketika aku kaget karena dia menolehkan
wajahnya kearahku. Jantung ini berdegup lebih kencang dari biasanya karena malu
yang luar biasa.
Waktu
terasa bergerak cepat, akhir perkuliahan pun di umumkan.
Tapi
putri masih duduk di kursinya, aku terkejut ketika ada air yang mengalir di
ujung matanya. Aku penasaran apa yang membuat dia menangis. Tak lama kemudian
aku bertanya.
“Loh,
kok nangis put? Ada masalah apa?” tanyaku dengan nada sendu.
“Ga
apa apa kok, Cuma keinget sama mantanku aja” Jawabnya dengan singkat.
Saat
itu juga, pecahan harapan yang kukumpulkan selama ini seakan terlepas dari
genggaman. Emosi pun meluap-luap, tak ada lagi yang bisa ku katakan. Aku segera
meninggalkan dia di ruangan sendirian tanpa memikirkan apa-apa lagi mengenai
dirinya.
Malam
pun tiba, aku kembali terbayang akan situasi pada siang hari tadi. Jujur aku
menyesal karena tidak ada sikap dariku untuk menghibur dirinya. Aku hanyalah
seorang pengecut dengan impian yang besar. Kulihat
jam dinding sudah menunjukkan jam 12.00 malam, hal itu terus menggerayangi
pikiran sampai-sampai aku tidak bisa tidur.
Keesokan
harinya,
Tak
kulihat mobil yang biasa mengantar putri, begitupun ketika jam perkuliahan.
Terdengar kabar bahwa dia sedang tidak enak badan.
Ketika
pulang, kusempatkan diri untuk mengunjungi rumahnya. Sampai di depan pintu, aku
membunyikan bel dan mengucapkan salam.
“Selamat
siang” Berkali-kali aku teriak, dan tak lama kemudian terdengar seseorang
membukakan pintu.
“Iya,
selamat siang. Mau cari siapa ya?” Ujar seorang ibu yang sudah agak tua
bertanya kepadaku.
“Ehm,
mau cari putri bu. Saya teman satu kelasnya, karena tadi saya dengar dia lagi
sakit makanya saya datang untuk menjenguk putri” Jelasku agak panjang.
“Oh,
sebentar ya saya panggilkan dulu putrinya” Jawab ibu itu dengan nada yang sopan
Tak
lama kemudian keluarlah putri mengenakan pakaian rumahnya yang khas, dia terlihat
lebih cantik dengan dandanan seperti itu.
“Kamu
sakit apa put?” tanyaku langsung padanya.
“Ga
kok, aku baik-baik saja. Cuma agak pusing sedikit” paparnya.
“Di,
aku sekitar 1 minggu lagi mau pindah ke luar negeri” Sambungnya dari penjelasan
tadi.
Aku
terkejut kenapa dia memberitahukan hal itu kepadaku.
“Loh,
kok tiba-tiba gitu sih? Memangnya mau ngapain keluar negeri?” Tanyaku beruntun.
“Papa
ingin memindahkanku kuliah keluar negeri, jadi aku ga bisa apa-apa lagi”
Jawabnya pasrah.
Aku
pun terdiam sesaat, karena dipikiran ku, aku belum melakukan sesuatu yang
berarti kepada dirinya. Yang kulakukan selama ini hanyalah bersembunyi di balik
kegelisahan. Beberapa jam kami habiskan untuk saling berbagi cerita, dan salah
satunya mengenai alasan kenapa papanya memutuskan hal tersebut secara sepihak. Disatu
sisi aku sedih tapi untuk beberapa hari kedepan sebelum keberangkatannya, aku
akan berusaha membuat suatu kenangan yang mungkin akan sulit untuk dilupakan.
Selang
beberapa hari semenjak aku mengunjungi keadaan putri, dia telah terlihat
baikan. Bahkan dia bisa tersenyum lepas lagi seperti biasanya.
Saat
perkuliahan usai tepat di hari itu, aku langsung mengajak putri untuk
berjalan-jalan di atas bukit. Kami memandangi indahnya kota dari atas, terlihat
raut wajahnya begitu senang. Karena belum ada laki-laki yang mengajaknya
ketempat seperti itu.
Tak
lama setelah itu, ku beranikan diri untuk mengungkapkan perasaanku kepadanya.
Ku dekati dia dan ku pegang tangannya.
“Putri,
sebenarnya aku selama ini memendam rasa kepadamu. Aku begitu mencintaimu, tapi
selama ini aku sadar bahwa aku bukanlah laki-laki dengan kehidupan yang
bergelimang harta.” Ungkapku dengan menggebu-gebu, karena hanya ini hal
terakhir yang bisa kulakukan untuknya.
Dia
sontak menangis terseduh-seduh, aku bingung. Apa aku salah dalam berucap?
Tanyaku dalam hati.
Perlahan
bibirnya mulai bergerak untuk mengucapkan sesuatu.
“Adi,
Kenapa baru kamu ungkapkan sekarang? Aku selama ini juga mempunyai rasa yang
sama seperti dirimu. Aku tak peduli dengan hartamu, asalkan kamu bisa membuatku
tersenyum itu sudah membuatku bahagia” Jelasnya kepadaku. Aku terkejut setangah
mati mendengar kalimat itu.
“Ya
tuhan, kenapa ini terjadi kepadaku. Kenapa keadaan ini tidak kusadari dari
dulu!” Kicauku kesal dalam iringan
tangis.
Setelah
menenangkan keadaan, kami pun pulang kerumah masing-masing.
Dan
keesokan harinya adalah hari dimana putri akan berangkat keluar negeri.
Pagi-pagi sekali aku bersiap dan bergegas kerumah Putri untuk menyaksikan
keberangkatannya. Tanpa menghiraukan lagi rambu lalu-lintas, aku langsung
tancap gas penuh dengan motor bututku. Tak lama kemudian tibalah didepan rumah
Putri, tapi tak terlihat satu orang maupun kendaraan yang biasanya terpampang
dihalaman rumahnya.
Beberapa
detik kemudian terlihat seorang bibi yang sedang membersihkan taman kecil yang
ada di lingkungan rumah Putri. Kupanggil bibi itu dan langsung bertanya.
“Bi,
numpang nanya nih. Putrinya kemana ya?” Tegasku langsung.
“Oh
Putri, baru saja pergi ke bandara dengan keluarganya.” Jawab bibi itu.
Tak
berpikir panjang, langsung kupacu sepeda motorku kearah bandara. Setiba di bandara,
aku langsung mencari-cari rombongan keluarga Putri. Akan tetapi sudah terlalu
banyak orang lalu lalang sehingga sulit bagiku untuk menemukan keberadaannya.
Aku sempat lemas tak berdaya, sampai seketika terlihat raut wajah murung Putri
lewat didampingi kedua orang tuanya menuju tempat pengantaran terakhir
penumpang. Aku langsung menerobos petugas-petugas pemeriksaan yang ada disana.
“Putriiiiii!!”
Teriakku panjang memanggil namanya dari jauh.
Dia
sempat menoleh dan air mata pun tak bisa lagi tertahan di matanya.
“Aku
akan selalu disini untuk menunggu kepulanganmu” Lanjut perkataanku.
Memang
dia sempat terhenti sejenak, tapi tak lama kemudian melanjutkan berjalan
memasuki pesawat. Aku seperti mengerti perasaannya saat ini. Sakit hati didalam
kehidupan yang penuh dengan paksaan. Akhirnya pesawat yang ditumpangi Putri
lepas landas menuju negara yang dituju.
Aku
pun kembali ke kehidupan awal, kuliah tanpa seseorang yang bisa memotivasiku
untuk lebih semangat. Hari demi hari pun kulalui seperti tak ada tujuan.
=====
4 Tahun Berlalu =====
Saat
memasuki dunia kerja dan aku mulai melupakan bayang-bayang Putri, hidupku mulai
teratur kembali seperti sediakala.
Beberapa
saat berlalu, sempat terdengar tentang kepulangan Putri dari luar negeri. Aku
antara terlihat senang namun sakit yang lama ini sudah mulai terkubur, perlahan
mulai menampakkan lagi jatinya. Karena yang kutahu ada 2 kabar, yaitu kabar
baik dan kabar buruk. Kabar baiknya dia akan menetap selama beberapa hari
kedepan dirumah lamanya, jadi aku bisa mengunjunginya untuk melepaskan rindu.
Dan kabar buruknya Putri telah menikah dengan orang yang pasti lebih baik
dariku.